Setiap orang pasti mempunyai cita-cita dan mungkin
saat ini cita-cita yang kita inginkan sudah tercapai. Seperti aku pada saat
masih kecil dulu, dimana pada saat itu aku masih duduk dibangku sekolah dasar
dan masih terlihat lugu, guruku menanyakan apa cita-citaku, Sebenarnya aku
belum terlalu mengerti apa itu cita-cita ? Tapi dengan wajah polos dan suara
lantang aku menjawab pertanyaan guruku “saya mau jadi guru pak . . .”,
mendengar jawaban itu guruku hanya manggut-manggut dan mendoakan agar apa yang
aku cita-citakan bisa tercapai dan menjadi kenyataan. Walaupun sebenarnya pada
saat itu aku tersadar kalau aku tidak bisa berharap banyak dengan apa yang aku
cita-citakan akan tercapai, bagiku cita-citaku hanya sebuah mimpi yang belum
tentu bisa menjadi kenyataan, dan bagiku doa guruku hanya akan menjadi sebuah
khayalan.
Wajar saja jika aku beranggapan seperti itu, Kehidupan
keluargaku yang apa adanya, orang tuaku yang tidak pernah sekalipun menanyakan
apa cita-cita anaknya, orang tuaku yang beranggapan kalau cita-cita bukanlah
hal yang penting, yang paling penting bagi mereka adalah anak-anaknya bisa
membaca, menulis, menghitung, dan jika aku menceritakan cita-citaku, orang
tuaku tidak pernah menanggapi apa mauku. Maklum saja, orang tuaku hanya bekerja
sebagai buruh yang membawa potongan-potongan bambu, orang tuaku harus bekerja
hingga menjelang maghrib hanya untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Sulit
memang, tapi inilah kenyataan hidupku dan keluargaku, sedikit atau banyak kami
harus tetap bersyukur.
Walaupun sejujurnya, dalam menjalani hidup yang tidak
mudah seperti itu sempat menghilangkan
motivasi dan keyakinanku, aku berfikir untuk apa aku sekolah kalau
cita-citaku hanya bisa jadi mimpi-mimpiku ? sementara orang tuaku tidak pernah
mempedulikan pendidikanku, orang tuaku tidak pernah meyakini dan memotivasiku,
keadaan hiduppun selalu menekanku, mau jadi apa aku ? aku merasa putus asa dan
tidak mampu.
Tapi itu tidak bertahan lama, ada guruku yang selalu
memberikan motivasi dan keyakinan padaku. Guruku mengatakan padaku bahwa masih
banyak anak-anak yang hidupnya lebih sulit daripada aku, bahkan mereka tidak
bisa sekolah sepertiku jika mereka tidak ikut orang tuanya bekerja lebih dulu,
sedangkan aku masih bisa sekolah tanpa harus membantu orang tuaku bekerja
membawa potongan bambu. Guruku juga sempat bercerita padaku kisah tentang anak
seorang petani miskin yang sukses,
padahal kehidupannya sama saja sepertiku. Namun, ada hal lain yang membuat anak
petani miskin itu berbeda denganku, ia memiliki motivasi dan keyakinan untuk
tetap belajar dalam mencapai cita-citanya, sesulit apapun hidup keluarganya,
anak petani miskin itu tetap mau berusaha demi pendidikan dan cita-citanya.
Sedangkan aku tidak memiliki motivasi dan keyakinan seperti dirinya. Guruku
juga berpesan “Yakinlah nak, cita-citamu itu bukan sebatas mimpi, berusaha dan
yakinkanlah dirimu kalau kamu mampu mewujudkan cita-citamu, anggaplah
kesulitanmu saat ini sebagai penguji semangat belajarmu”.
Aku memahami perkataan guruku, aku berusaha mengubah
rasa putus asaku menjadi sebuah keyakinan kalau aku bisa mewujudkan
cita-citaku. Perubahan terjadi padaku, hidup miskin tidak pernah lagi
menyurutkan semangatku, walaupun kesekolah aku hanya bisa berjalan kaki dan
mengantongi uang seribu, aku tetap gigih bersama semangat belajarku, bagi
teman-temanku uang seribu tidak mungkin bisa mengenyangkan perutku, tapi bagiku
uang seribu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan motivasiku, bagiku
“kenyang perut hanya sesaat dan bisa mengembalikan rasa lapar, tapi jika
kenyang ilmu, ilmu itu tidak akan pernah hilang dan bisa kugunakan kapan saja”.
Berkat motivasiku, hanya butuh waktu satu tahun lagi
cita-citaku akan menjadi kenyataan, berkat usahaku aku bisa melanjutkan
pendidikanku sampai kejenjang perkuliahan, kesulitan keluarga bukan lagi
penghambat bagiku dan kupastikan tahun depan aku akan menjadi seorang GURU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar