Sabtu, 30 Maret 2013
"Cita-citaku Bukan Sebatas Mimpi"
Setiap orang pasti mempunyai cita-cita dan mungkin
saat ini cita-cita yang kita inginkan sudah tercapai. Seperti aku pada saat
masih kecil dulu, dimana pada saat itu aku masih duduk dibangku sekolah dasar
dan masih terlihat lugu, guruku menanyakan apa cita-citaku, Sebenarnya aku
belum terlalu mengerti apa itu cita-cita ? Tapi dengan wajah polos dan suara
lantang aku menjawab pertanyaan guruku “saya mau jadi guru pak . . .”,
mendengar jawaban itu guruku hanya manggut-manggut dan mendoakan agar apa yang
aku cita-citakan bisa tercapai dan menjadi kenyataan. Walaupun sebenarnya pada
saat itu aku tersadar kalau aku tidak bisa berharap banyak dengan apa yang aku
cita-citakan akan tercapai, bagiku cita-citaku hanya sebuah mimpi yang belum
tentu bisa menjadi kenyataan, dan bagiku doa guruku hanya akan menjadi sebuah
khayalan.
Wajar saja jika aku beranggapan seperti itu, Kehidupan
keluargaku yang apa adanya, orang tuaku yang tidak pernah sekalipun menanyakan
apa cita-cita anaknya, orang tuaku yang beranggapan kalau cita-cita bukanlah
hal yang penting, yang paling penting bagi mereka adalah anak-anaknya bisa
membaca, menulis, menghitung, dan jika aku menceritakan cita-citaku, orang
tuaku tidak pernah menanggapi apa mauku. Maklum saja, orang tuaku hanya bekerja
sebagai buruh yang membawa potongan-potongan bambu, orang tuaku harus bekerja
hingga menjelang maghrib hanya untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Sulit
memang, tapi inilah kenyataan hidupku dan keluargaku, sedikit atau banyak kami
harus tetap bersyukur.
Walaupun sejujurnya, dalam menjalani hidup yang tidak
mudah seperti itu sempat menghilangkan
motivasi dan keyakinanku, aku berfikir untuk apa aku sekolah kalau
cita-citaku hanya bisa jadi mimpi-mimpiku ? sementara orang tuaku tidak pernah
mempedulikan pendidikanku, orang tuaku tidak pernah meyakini dan memotivasiku,
keadaan hiduppun selalu menekanku, mau jadi apa aku ? aku merasa putus asa dan
tidak mampu.
Tapi itu tidak bertahan lama, ada guruku yang selalu
memberikan motivasi dan keyakinan padaku. Guruku mengatakan padaku bahwa masih
banyak anak-anak yang hidupnya lebih sulit daripada aku, bahkan mereka tidak
bisa sekolah sepertiku jika mereka tidak ikut orang tuanya bekerja lebih dulu,
sedangkan aku masih bisa sekolah tanpa harus membantu orang tuaku bekerja
membawa potongan bambu. Guruku juga sempat bercerita padaku kisah tentang anak
seorang petani miskin yang sukses,
padahal kehidupannya sama saja sepertiku. Namun, ada hal lain yang membuat anak
petani miskin itu berbeda denganku, ia memiliki motivasi dan keyakinan untuk
tetap belajar dalam mencapai cita-citanya, sesulit apapun hidup keluarganya,
anak petani miskin itu tetap mau berusaha demi pendidikan dan cita-citanya.
Sedangkan aku tidak memiliki motivasi dan keyakinan seperti dirinya. Guruku
juga berpesan “Yakinlah nak, cita-citamu itu bukan sebatas mimpi, berusaha dan
yakinkanlah dirimu kalau kamu mampu mewujudkan cita-citamu, anggaplah
kesulitanmu saat ini sebagai penguji semangat belajarmu”.
Aku memahami perkataan guruku, aku berusaha mengubah
rasa putus asaku menjadi sebuah keyakinan kalau aku bisa mewujudkan
cita-citaku. Perubahan terjadi padaku, hidup miskin tidak pernah lagi
menyurutkan semangatku, walaupun kesekolah aku hanya bisa berjalan kaki dan
mengantongi uang seribu, aku tetap gigih bersama semangat belajarku, bagi
teman-temanku uang seribu tidak mungkin bisa mengenyangkan perutku, tapi bagiku
uang seribu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan motivasiku, bagiku
“kenyang perut hanya sesaat dan bisa mengembalikan rasa lapar, tapi jika
kenyang ilmu, ilmu itu tidak akan pernah hilang dan bisa kugunakan kapan saja”.
Berkat motivasiku, hanya butuh waktu satu tahun lagi
cita-citaku akan menjadi kenyataan, berkat usahaku aku bisa melanjutkan
pendidikanku sampai kejenjang perkuliahan, kesulitan keluarga bukan lagi
penghambat bagiku dan kupastikan tahun depan aku akan menjadi seorang GURU.
Jumat, 29 Maret 2013
Cara Membahagiakan Orang Tua
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya.
Cinta kepada istri merupakan tabiat seorang insan dan merupakan anugerah Ilahi yang diberikan-Nya kepada sepasang insan yang menyatukan kata dan hati mereka dalam ikatan pernikahan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Rasulullah n sebagai makhluk Allah I yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya, yang beliau nyatakan dalam sabdanya:
“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian,1 para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Namun yang disayangkan, terkadang rasa cinta itu membawa seorang suami kepada perbuatan yang tercela. Karena menuruti istri tercinta, ia rela memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Ia berani melakukan korupsi di tempat kerjanya. Ia enggan untuk turun berjihad fi sabilillah ketika ada seruan jihad dari penguasa. Ia bahkan siap menempuh segala cara demi membahagiakan istri tercinta walaupun harus melanggar larangan Allah I. Jika sudah seperti ini keadaannya, berarti cintanya itu membawa madharat baginya. Ia telah terfitnah dengan istrinya. Yang lebih berbahaya lagi bila cinta kepada istri lebih dia dahulukan dari segala hal. Bahkan lebih dia dahulukan daripada Allah I, Rasul-Nya dan agama-Nya. Padahal Allah I telah mengancam dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)
Karena adanya dampak cinta yang berlebihan seperti inilah, Allah I nyatakan bahwa di antara istri dan anak, ada yang menjadi musuh bagi seseorang dalam status dia sebagai suami atau sebagai ayah. Allah I berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” (At-Taghabun: 14)
Musuh di sini dalam arti si istri atau si anak dapat melalaikan sang suami atau sang ayah dari melakukan amal shalih. Sebagaimana firman Allah I:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan jangan pula anak-anak kalian melalaikan kalian dari berdzikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)
Mujahid berkata tentang firman Allah I:
“Sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” Yakni, cinta seorang lelaki/suami kepada istrinya membawanya untuk memutus-kan silaturahim atau bermaksiat kepada Rabbnya. Si suami tidak mampu berbuat apa-apa karena cintanya kepada si istri kecuali sekedar menuruti istrinya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Beliau juga berkata: “Kecintaan kepada istri dan anak membawa mereka untuk mengambil penghasilan yang haram, lalu diberikan kepada orang-orang yang dicintai ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Selain itu, istri dan anak dapat memaling-kan mereka dari jalan Allah I dan membuat mereka lamban untuk taat kepada Allah I. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an, 12/116)
Al-Imam Al-Qurthubi t mengatakan: “Ayat ini umum, meliputi seluruh maksiat yang dilakukan seseorang karena istri dan anak.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/93-94)
Setelah mengingatkan keberadaan mereka sebagai musuh, Allah I memerintahkan: (maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka). Berhati-hati di sini, kata Ibnu Zaid, adalah berhati-hati menjaga agama kalian. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Al-Imam Al-Qurthubi t mengatakan: “Berhati-hatinya kalian dalam menjaga diri kalian disebabkan dua hal. Bisa jadi karena mereka akan membuat kemudaratan/bahaya pada jasmani, bisa pula kemadharatan pada agama. Kemudaratan tubuh berkaitan dengan dunia, sedangkan kemudaratan pada agama berkaitan dengan akhirat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Lantas, bagaimana bisa seorang istri yang merupakan teman hidup yang selalu menemani dan mendampingi, dinyatakan sebagai musuh? Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi t telah menerangkan: “Yang namanya musuh tidaklah mesti diri/individunya sebagai musuh. Namun dia menjadi musuh karena perbuatannya. Dengan demikian, apabila istri dan anak berperilaku seperti musuh, jadilah ia sebagai musuh. Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek daripada menghalangi seorang hamba dari ketaatan kepada Allah I.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Di dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Ini merupakan peringatan dari Allah I kepada kaum mukminin agar tidak tertipu dan terpedaya oleh istri dan anak-anak, karena sebagian mereka merupakan musuh bagi kalian. Yang namanya musuh, ia menginginkan kejelekan bagimu. Dan tugasmu adalah berhati-hati dari orang yang bersifat demikian. Sementara jiwa itu memang tercipta untuk mencintai istri dan anak-anak. Maka Allah I menasehati hamba-hamba-Nya agar kecintaan itu tidak sampai membuat mereka terikat dengan tuntutan istri dan anak-anak, sementara tuntutan itu mengandung perkara yang dilarang secara syar’i. Allah I menekankan mereka untuk berpegang dengan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya, dengan menjanjikan apa yang ada di sisi-Nya berupa pahala yang besar yang mencakup tuntutan yang tinggi dan cinta yang mahal. Juga agar mereka lebih mementingkan akhirat daripada dunia yang fana yang akan berakhir.
Karena menaati istri dan anak-anak menimbulkan kemudaratan bagi seorang hamba dan adanya peringatan dari hal tersebut, bisa jadi memunculkan anggapan bahwa istri dan anak-anak hendaknya disikapi secara keras, serta harus diberikan hukuman kepada mereka. Namun ternyata, Allah I hanya memerintahkan untuk berhati-hati dari mereka, memaafkan mereka, tidak menghukum mereka. Karena dalam pemaaafan ada kemaslahatan/kebaikan yang tidak terbatas. Allah I berfirman:
“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14) [Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 868]
Demikianlah keberadaan seorang wanita, baik statusnya sebagai istri atau bukan, merupakan fitnah terbesar bagi lelaki. Karena itulah Allah I mendahulukan penyebutan wanita ketika mengurutkan kecintaan kepada syahwat (kesenangan yang diinginkan dari dunia).
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Allah I mengabarkan tentang perkara yang dijadikan indah bagi manusia dalam kehidupan dunia ini berupa ragam kelezatan, dari wanita, anak-anak, dan selainnya. Allah I memulai penyebutan wanita karena fitnahnya yang paling besar. Sebagaimana dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang paling berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.”3 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/15)
Mungkin timbul pertanyaan, bila istri dapat menjadi musuh bagi suaminya, apakah juga berlaku sebaliknya, suami dapat menjadi musuh bagi istrinya?
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi t menjawab permasalahan ini: “Sebagaimana seorang lelaki/suami memiliki musuh dari kalangan anak dan istrinya, demikian pula wanita/istri. Suami dan anaknya dapat menjadi musuh baginya dengan makna yang sama. Firman Allah I: (di antara istri-istri kalian atau pasangan hidup kalian) ini sifatnya umum, masuk di dalamnya lelaki (suami) dan wanita (istri) karena keduanya tercakup dalam seluruh ayat.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Dengan demikian, janganlah kecintaan seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya kecintaan istri kepada suaminya membawa keduanya untuk melanggar larangan Allah I, berbuat maksiat, menghalalkan apa yang Allah I haramkan atau sebaliknya, mengharamkan untu k dirinya apa yang Allah I halalkan karena ingin mencari keridhaan pasangannya. Nabi kita yang mulia n pernah ditegur oleh Allah I ketika beliau sempat mengharamkan apa yang Allah I halalkan karena ingin mencari keridhaan istri-istri beliau.4 Allah I abadikan hal itu dalam Al-Qur`an:
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengha-ramkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu5, karena engkau mencari keridhaan (kesenangan hati) istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Tahrim: 1)
Nasehat kepada Istri
Karena engkau –wahai seorang istri– dapat menjadi fitnah bagi suamimu, maka bertakwalah kepada Allah I. Jangan sampai engkau menjadi musuh dalam selimut baginya. Jangan engkau jerat dia atas nama cinta, hingga ia terjaring dan tak dapat lepas darinya. Akibatnya, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana mencari ridhamu, mengikuti kemauanmu, walaupun hal itu bertentangan dengan syariat.
Bertakwalah engkau kepada Allah I. Jadilah istri yang shalihah dengan membantu suamimu agar selalu taat kepada Allah I dan Rasul-Nya. Semestinya engkau tidak suka bila ia melakukan perkara yang melanggar syar’i karena ingin menyenangkan hatimu. Keberada-anmu di sisinya, sebagai teman hidupnya, jangan menjadi penghalang baginya untuk menjadi hamba yang bertakwa dan menjadi anak yang shalih bagi kedua orang tuanya.
Cintaiah suamimu, syukurilah dengan cara engkau semakin taat kepada Allah I, menunaikan kewajibanmu dengan sebaik mungkin, dan mencurahkan segala kemampuan-mu untuk memenuhi haknya sebagai suami.
Zuhud terhadap dunia, jangan engkau abaikan. Sehingga engkau tidak menuntut suamimu agar memenuhi kenikmatan dunia yang engkau idamkan. Pautkan selalu hatimu dengan darul akhirat agar engkau tidak menghamba pada dunia yang tidak kekal.
Catatan Akhir
Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 di atas, dari riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat6:
Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (hal. 249).
Demikianlah. Semoga Allah I memberi taufik kepada kita untuk selalu mencari keridhaan-Nya. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi, dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia, maknanya: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepada beliau di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara agama. (Catatan kaki Misykatul Mashabih, 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’at, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad (3/128, 199, 285), An-Nasa’i (no. 3939) kitab ‘Isyratun Nisa` bab Hubbun Nisa`. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim
4 Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah n terjaga dari terus berbuat dosa. Ketika beliau jatuh dalam kesalahan sebagaimana wajarnya seorang manusia, Allah I segera menegur Nabi-Nya sebagai penjagaan dari Allah I kepada beliau. Sehingga beliau pun bertaubat dari kesalahannya.
5 Yakni Nabi n sempat mengharamkan madu atau mengharamkan Mariyah budak beliau.
6 Dan terhadap keinginan mereka untuk menghukum istri dan anak-anak mereka, Allah I menyatakan:
“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Allah I memerintahkan mereka untuk memaafkan istri dan anak-anak mereka. (Ma‘alimut Tanzil, 4/324)
Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya.
Cinta kepada istri merupakan tabiat seorang insan dan merupakan anugerah Ilahi yang diberikan-Nya kepada sepasang insan yang menyatukan kata dan hati mereka dalam ikatan pernikahan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Rasulullah n sebagai makhluk Allah I yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya, yang beliau nyatakan dalam sabdanya:
“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian,1 para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Namun yang disayangkan, terkadang rasa cinta itu membawa seorang suami kepada perbuatan yang tercela. Karena menuruti istri tercinta, ia rela memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Ia berani melakukan korupsi di tempat kerjanya. Ia enggan untuk turun berjihad fi sabilillah ketika ada seruan jihad dari penguasa. Ia bahkan siap menempuh segala cara demi membahagiakan istri tercinta walaupun harus melanggar larangan Allah I. Jika sudah seperti ini keadaannya, berarti cintanya itu membawa madharat baginya. Ia telah terfitnah dengan istrinya. Yang lebih berbahaya lagi bila cinta kepada istri lebih dia dahulukan dari segala hal. Bahkan lebih dia dahulukan daripada Allah I, Rasul-Nya dan agama-Nya. Padahal Allah I telah mengancam dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)
Karena adanya dampak cinta yang berlebihan seperti inilah, Allah I nyatakan bahwa di antara istri dan anak, ada yang menjadi musuh bagi seseorang dalam status dia sebagai suami atau sebagai ayah. Allah I berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” (At-Taghabun: 14)
Musuh di sini dalam arti si istri atau si anak dapat melalaikan sang suami atau sang ayah dari melakukan amal shalih. Sebagaimana firman Allah I:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan jangan pula anak-anak kalian melalaikan kalian dari berdzikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)
Mujahid berkata tentang firman Allah I:
“Sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” Yakni, cinta seorang lelaki/suami kepada istrinya membawanya untuk memutus-kan silaturahim atau bermaksiat kepada Rabbnya. Si suami tidak mampu berbuat apa-apa karena cintanya kepada si istri kecuali sekedar menuruti istrinya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Beliau juga berkata: “Kecintaan kepada istri dan anak membawa mereka untuk mengambil penghasilan yang haram, lalu diberikan kepada orang-orang yang dicintai ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Selain itu, istri dan anak dapat memaling-kan mereka dari jalan Allah I dan membuat mereka lamban untuk taat kepada Allah I. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an, 12/116)
Al-Imam Al-Qurthubi t mengatakan: “Ayat ini umum, meliputi seluruh maksiat yang dilakukan seseorang karena istri dan anak.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/93-94)
Setelah mengingatkan keberadaan mereka sebagai musuh, Allah I memerintahkan: (maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka). Berhati-hati di sini, kata Ibnu Zaid, adalah berhati-hati menjaga agama kalian. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Al-Imam Al-Qurthubi t mengatakan: “Berhati-hatinya kalian dalam menjaga diri kalian disebabkan dua hal. Bisa jadi karena mereka akan membuat kemudaratan/bahaya pada jasmani, bisa pula kemadharatan pada agama. Kemudaratan tubuh berkaitan dengan dunia, sedangkan kemudaratan pada agama berkaitan dengan akhirat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Lantas, bagaimana bisa seorang istri yang merupakan teman hidup yang selalu menemani dan mendampingi, dinyatakan sebagai musuh? Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi t telah menerangkan: “Yang namanya musuh tidaklah mesti diri/individunya sebagai musuh. Namun dia menjadi musuh karena perbuatannya. Dengan demikian, apabila istri dan anak berperilaku seperti musuh, jadilah ia sebagai musuh. Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek daripada menghalangi seorang hamba dari ketaatan kepada Allah I.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Di dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Ini merupakan peringatan dari Allah I kepada kaum mukminin agar tidak tertipu dan terpedaya oleh istri dan anak-anak, karena sebagian mereka merupakan musuh bagi kalian. Yang namanya musuh, ia menginginkan kejelekan bagimu. Dan tugasmu adalah berhati-hati dari orang yang bersifat demikian. Sementara jiwa itu memang tercipta untuk mencintai istri dan anak-anak. Maka Allah I menasehati hamba-hamba-Nya agar kecintaan itu tidak sampai membuat mereka terikat dengan tuntutan istri dan anak-anak, sementara tuntutan itu mengandung perkara yang dilarang secara syar’i. Allah I menekankan mereka untuk berpegang dengan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya, dengan menjanjikan apa yang ada di sisi-Nya berupa pahala yang besar yang mencakup tuntutan yang tinggi dan cinta yang mahal. Juga agar mereka lebih mementingkan akhirat daripada dunia yang fana yang akan berakhir.
Karena menaati istri dan anak-anak menimbulkan kemudaratan bagi seorang hamba dan adanya peringatan dari hal tersebut, bisa jadi memunculkan anggapan bahwa istri dan anak-anak hendaknya disikapi secara keras, serta harus diberikan hukuman kepada mereka. Namun ternyata, Allah I hanya memerintahkan untuk berhati-hati dari mereka, memaafkan mereka, tidak menghukum mereka. Karena dalam pemaaafan ada kemaslahatan/kebaikan yang tidak terbatas. Allah I berfirman:
“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14) [Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 868]
Demikianlah keberadaan seorang wanita, baik statusnya sebagai istri atau bukan, merupakan fitnah terbesar bagi lelaki. Karena itulah Allah I mendahulukan penyebutan wanita ketika mengurutkan kecintaan kepada syahwat (kesenangan yang diinginkan dari dunia).
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Allah I mengabarkan tentang perkara yang dijadikan indah bagi manusia dalam kehidupan dunia ini berupa ragam kelezatan, dari wanita, anak-anak, dan selainnya. Allah I memulai penyebutan wanita karena fitnahnya yang paling besar. Sebagaimana dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang paling berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.”3 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/15)
Mungkin timbul pertanyaan, bila istri dapat menjadi musuh bagi suaminya, apakah juga berlaku sebaliknya, suami dapat menjadi musuh bagi istrinya?
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi t menjawab permasalahan ini: “Sebagaimana seorang lelaki/suami memiliki musuh dari kalangan anak dan istrinya, demikian pula wanita/istri. Suami dan anaknya dapat menjadi musuh baginya dengan makna yang sama. Firman Allah I: (di antara istri-istri kalian atau pasangan hidup kalian) ini sifatnya umum, masuk di dalamnya lelaki (suami) dan wanita (istri) karena keduanya tercakup dalam seluruh ayat.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Dengan demikian, janganlah kecintaan seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya kecintaan istri kepada suaminya membawa keduanya untuk melanggar larangan Allah I, berbuat maksiat, menghalalkan apa yang Allah I haramkan atau sebaliknya, mengharamkan untu k dirinya apa yang Allah I halalkan karena ingin mencari keridhaan pasangannya. Nabi kita yang mulia n pernah ditegur oleh Allah I ketika beliau sempat mengharamkan apa yang Allah I halalkan karena ingin mencari keridhaan istri-istri beliau.4 Allah I abadikan hal itu dalam Al-Qur`an:
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengha-ramkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu5, karena engkau mencari keridhaan (kesenangan hati) istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Tahrim: 1)
Nasehat kepada Istri
Karena engkau –wahai seorang istri– dapat menjadi fitnah bagi suamimu, maka bertakwalah kepada Allah I. Jangan sampai engkau menjadi musuh dalam selimut baginya. Jangan engkau jerat dia atas nama cinta, hingga ia terjaring dan tak dapat lepas darinya. Akibatnya, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana mencari ridhamu, mengikuti kemauanmu, walaupun hal itu bertentangan dengan syariat.
Bertakwalah engkau kepada Allah I. Jadilah istri yang shalihah dengan membantu suamimu agar selalu taat kepada Allah I dan Rasul-Nya. Semestinya engkau tidak suka bila ia melakukan perkara yang melanggar syar’i karena ingin menyenangkan hatimu. Keberada-anmu di sisinya, sebagai teman hidupnya, jangan menjadi penghalang baginya untuk menjadi hamba yang bertakwa dan menjadi anak yang shalih bagi kedua orang tuanya.
Cintaiah suamimu, syukurilah dengan cara engkau semakin taat kepada Allah I, menunaikan kewajibanmu dengan sebaik mungkin, dan mencurahkan segala kemampuan-mu untuk memenuhi haknya sebagai suami.
Zuhud terhadap dunia, jangan engkau abaikan. Sehingga engkau tidak menuntut suamimu agar memenuhi kenikmatan dunia yang engkau idamkan. Pautkan selalu hatimu dengan darul akhirat agar engkau tidak menghamba pada dunia yang tidak kekal.
Catatan Akhir
Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 di atas, dari riwayat Ibnu ‘Abbas c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat6:
Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (hal. 249).
Demikianlah. Semoga Allah I memberi taufik kepada kita untuk selalu mencari keridhaan-Nya. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi, dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia, maknanya: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepada beliau di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara agama. (Catatan kaki Misykatul Mashabih, 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’at, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad (3/128, 199, 285), An-Nasa’i (no. 3939) kitab ‘Isyratun Nisa` bab Hubbun Nisa`. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim
4 Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah n terjaga dari terus berbuat dosa. Ketika beliau jatuh dalam kesalahan sebagaimana wajarnya seorang manusia, Allah I segera menegur Nabi-Nya sebagai penjagaan dari Allah I kepada beliau. Sehingga beliau pun bertaubat dari kesalahannya.
5 Yakni Nabi n sempat mengharamkan madu atau mengharamkan Mariyah budak beliau.
6 Dan terhadap keinginan mereka untuk menghukum istri dan anak-anak mereka, Allah I menyatakan:
“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Allah I memerintahkan mereka untuk memaafkan istri dan anak-anak mereka. (Ma‘alimut Tanzil, 4/324)
Kamis, 28 Maret 2013
Do'a Memohon Cinta Allah
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِى يُبَلِّغُنِى حُبَّكَ
اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَىَّ مِنْ نَفْسِى وَأَهْلِى وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ
(رواه الترمذي وقال حديث حسن)
“Ya Allah, aku mohon pada-Mu cinta-Mu dan cinta orang yang mencintai-Mu, amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu. Ya Allah, jadikan cinta-Mu lebih aku cintai melebihi cintaku pada diriku sendiri, keluargaku, dan air dingin.”
Cinta Di atas Sajadah
Do'a malam ku duduk diantara sajadah suci mu . . .
Ku menemukan cinta atas ridho-mu . . .
Jika ini benar, izinkan cinta ini bersatu karena-mu . . .
Mencintai pilihan mu adalah hak bagi ku ,,
Tapi, jika dia suatu saat pergi meninggalkan ku ,,
Aku tau ini juga kehendakmu . . .
Ku pilih dia dalam perjalanan IstiQharah-ku . . .
Ku lepaskan dia juga atas izin-mu . . .
Tidak ada cinta yang lebih baik, selain mencintai agama-mu . . .
Yakinkan hatiku untuk melabuhkan sebagian dari hidupku hanya kepada dia...... yang selalu meminta cinta beralaskan sajadah cintamu . . . .
by : Vitriah April Yanni :)
Ku menemukan cinta atas ridho-mu . . .
Jika ini benar, izinkan cinta ini bersatu karena-mu . . .
Mencintai pilihan mu adalah hak bagi ku ,,
Tapi, jika dia suatu saat pergi meninggalkan ku ,,
Aku tau ini juga kehendakmu . . .
Ku pilih dia dalam perjalanan IstiQharah-ku . . .
Ku lepaskan dia juga atas izin-mu . . .
Tidak ada cinta yang lebih baik, selain mencintai agama-mu . . .
Yakinkan hatiku untuk melabuhkan sebagian dari hidupku hanya kepada dia...... yang selalu meminta cinta beralaskan sajadah cintamu . . . .
by : Vitriah April Yanni :)
Langganan:
Postingan (Atom)